Suara di Ujung Frekuensi
“Hai, apa kabar, Rekan? Tidak terasa kita sudah masuk hari Selasa, dan seperti biasa, kali ini kami akan menemani kamu di My Number. Jadi, buat kamu yang ingin mencari pacar, gebetan, teman, atau TTM, buruan ikutan, deh! Kamu bisa mempromosikan nomor handphone kamu di sini!”
Suara penyiar radio itu memberikanku semangat baru. Rasanya seperti sudah menjadi kebiasaan. Setiap hari Selasa, aku selalu menanti-nantikan momen ini. Entah kenapa, mempromosikan nomor handphone sendiri lewat radio menjadi sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Aneh, mungkin. Tapi begitu nada dering ponselku berbunyi dan pesan-pesan asing berdatangan, aku merasa hidup.
Terutama bila yang menghubungi adalah perempuan.
Sampai sekarang, aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apakah aku mengalami kelainan jiwa? Entahlah. Yang jelas, aku termasuk tipe lelaki pemalu. Sangat pemalu, terutama jika harus berinteraksi langsung dengan perempuan, apalagi yang cantik. Tanganku dingin, suaraku gemetar, dan bibirku kelu. Penyakit ini bukan hal baru. Sejak duduk di bangku SMA, aku sudah mengalaminya.
Aku masih ingat kejadian sepuluh tahun lalu. Aku berdiri di depan kelas seorang adik kelasku. Dia adalah perempuan yang kusukai diam-diam. Aku berdiri menunggunya keluar dari kelas, berniat menyapanya dan mengajaknya berbicara.
“Jimmy, ungkapin dong perasaan lo ke dia!” teman-temanku bersorak dari kejauhan.
“Cemen lo, Jim,” celetuk salah satu dari mereka sambil tertawa.
Namun, seperti biasa, semua keberanian itu hanya tinggal niat. Saat dia akhirnya keluar, aku tak mampu berkata apa pun. Aku hanya tersenyum canggung dan menunduk. Waktu berlalu, dan kini dia telah menikah—dengan temanku semasa SD. Ironi, ya?
Ah, sudahlah. Itu sudah lama berlalu. Tahun 2001. Buat apa dikenang terus?
Namaku Jimmy. Aku bekerja sebagai editor di sebuah harian lokal di Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Sebelumnya, sudah kuceritakan bahwa aku memiliki kebiasaan—atau mungkin penyakit—yang agak aneh: aku suka mempromosikan nomor handphone-ku sendiri lewat radio.
Apa akibatnya?
Ada yang manis, ada yang pahit.
Manis ketika perempuan itu akhirnya mau bertemu denganku. Tapi sayangnya, saat bertatap muka, aku justru membisu. Padahal sebelumnya, di pesan teks, aku bisa berbicara panjang lebar dan menggombal tanpa henti. Namun ketika wajah cantik itu ada di depanku, lidahku mendadak beku.
Pahit, jika ternyata perempuan itu sudah memiliki pacar. Dan lebih pahit lagi, jika pacarnya adalah pria posesif. Aku pernah mendapat pesan ancaman karena tak sengaja mengirim pesan manis ke pacar orang. Ada pula kasus lain yang lebih serius.
Pernah suatu kali, aku ditelepon oleh seorang pejabat.
“Saudara Jimmy, apa maksud Anda mengirimkan SMS berisi kata-kata sayang kepada tunangan saya?” katanya dengan nada berat.
Aku tercekat. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ma-maaf, Mas. Saya tidak tahu kalau Maya sudah menjadi tunangan Mas,” jawabku tergagap.
“Dari mana Anda mendapat nomor Maya?” tanyanya.
“Saya dapat dari acara radio, Mas. Waktu itu saya promosikan nomor saya. Maya yang lebih dulu menghubungi dan mengajak saya berpacaran. Saya tidak tahu kalau dia sudah milik orang,” jawabku jujur.
“Lain kali, kalau mau cari pacar, cari yang benar. Jangan cuma lewat radio,” katanya.
Saran itu tidak membuatku jera. Aku tetap melakukannya. Aku tidak punya ponsel canggih seperti teman-temanku yang lain. Aku masih menggunakan ponsel lokal yang bisa mendengarkan siaran radio. Biasanya, setelah kenalan, aku akan minta alamat Facebook atau Twitter.
Dan tentu saja, di Facebook aku tidak menampilkan foto asliku. Aku menggunakan foto artis—Ariel atau Afgan. Aku terlalu malu menunjukkan wajahku sendiri. Takut ditolak sejak awal.
Hari ini, Selasa, 1 Februari 2011, seperti biasa aku menyetel siaran radio lewat ponsel sambil bekerja. Aku terbiasa mengerjakan pekerjaan sambil mendengarkan siaran. Dan seperti biasa pula, aku mempromosikan nomor handphone-ku.
“Halo, DJ. Nama gue Jimmy dari Gajahmada. Gue mau promosiin nomor handphone gue. Gue udah lama ngejomblo nih. Buat yang mau kenalan, buruan ya. 081xxxxxxx.”
Beberapa saat kemudian, ponselku mulai sibuk. Nada dering dan pesan masuk berdatangan. Suasana kantor jadi agak gaduh karena ringtone-ku yang nyaring. Dari sekian banyak pesan, satu menarik perhatianku. Namanya Liza. Dia bilang baru lulus SMA. Aku membuka akun Facebook dan Twitter-nya. Wajahnya cantik. Seperti keturunan Tionghoa. Tanpa ragu, dia mengajakku bertemu malam ini di mall.
Sesuai janji, setelah pulang kerja, aku langsung menuju mall dengan motor kesayanganku. Aku mengenakan jaket Inter Milan biru dan celana jeans. Di dalam hati, aku cemas setengah mati. Sudah lama aku tidak bertemu perempuan, apalagi yang cantik seperti Liza.
Tepat di depan Gramedia, lantai satu, aku berdiri menanti. Tak lama kemudian, ponselku berbunyi.
“Halo, ini Jimmy. Jimmy lagi di depan Gramedia nih. Pakai jaket Inter Milan warna biru,” kataku.
“Oh, Liza sudah sampai kok. Nanti Liza ke atas, ya,” jawabnya singkat.
“Iya.”
Beberapa menit berlalu. Ponselku kembali berdering.
“Jimmy, yang pakai jaket Inter dan celana jeans, rambutnya cepak?” tanya suara perempuan.
“Iya,” jawabku.
“Coba Jimmy balik badan.”
Aku pun berbalik.
Dan ternyata—Liza sudah berdiri di belakangku! Astaga, dia bicara denganku dari belakang lewat telepon?
Kami pun tertawa kecil, lalu bersalaman. Aku menggenggam tangannya pelan. Tangannya dingin, seperti tanganku. Kami duduk di food court, memesan minuman dan makanan ringan. Percakapan kami kaku di awal. Tapi lama-kelamaan, kami mulai membuka diri.
Dari obrolan, aku tahu ternyata Liza pun mengalami hal yang sama denganku.
“Aku juga gugup kalau ketemu lawan jenis. Makanya aku lebih nyaman kenalan lewat radio atau Facebook,” katanya dengan suara pelan.
“Aku juga. Sampai sekarang, masih suka grogi,” sahutku sambil tersenyum.
Liza menatapku. “Padahal kamu nggak jelek, kok.”
Aku tertawa. “Kamu juga. Malah mirip Sandra Dewi, tahu nggak?”
Kami tertawa bersama. Rasa canggung perlahan menghilang.
Malam itu kami berpisah dengan senyum dan janji untuk bertemu lagi. Janji yang akhirnya kami tepati. Pertemuan demi pertemuan, dan… kami pun resmi berpacaran.
Sekarang, setiap Selasa, aku masih mendengarkan My Number. Tapi bukan lagi untuk mencari cinta. Melainkan untuk mengenang bagaimana suara radio bisa mempertemukanku dengan seseorang yang ternyata… sama rapuh, sama pemalu, dan sama haus perhatian.
Terkadang, cinta datang dari tempat yang paling tidak terduga. Seperti suara dari balik gelombang radio—yang diam-diam menyembuhkan.