Mengenal Kaharingan Agama Tertua di Masyarakat Dayak

Kaharingan merupakan agama lokal tertua di Kalimantan. Sejak berintegrasi dengan Hindu, beragam fasilitas dan pemenuhan hak sipil mereka dapati. Namun, keinginan menjadi identitas agama yang diakui masih perlu perjuangan.

Mengenakan kemeja dan topi bercorak khas suku Dayak, Syaer Sua, 70 tahun, keluar dari rumah Bentang miliknya di Tumbang Manggu, Katingan, Kalimantan Tengah. Sebilah mandau terselip di pinggangnya. Sementara di bahu, dua batang tombak bersandar. Dengan gagah, Syaer perlahan menuruni anak tangga menuju halaman rumah.

Di sisi tangga, lima pemuka agama Hindu Kaharingan yang disebut Basir, sudah duduk berdampingan di kursi panjang terbuat dari kayu. Serempak mereka merapal mantra-mantra dalam bahasa Sangiang yang diiringi tabuhan gendang. Suasana pun khusyuk.

Di hadapan para Basir, sejumlah ternak; kerbau, babi, dan ayam telah disiapkan. Prosesi Tiwah atau penyerahan roh orang mati ke hadapan Ranying Hantalla Langit —sebutan untuk Tuhan bagi para penganut Kaharingan— tak lama lagi akan dimulai.

Rukun kematian tingkat terakhir bagi umat Kaharingan ini, merupakan prosesi pengangkatan tulang manusia dari kuburan. Tulang-belulang sanak-saudara ini nantinya akan dibersihkan lalu disimpan dalam gubuk kecil yang disebut Sandung. Ritual ini pun disertai dengan pengorbanan ternak yang dipersembahkan bagi Ranying Hatalla Langit.

Pagi itu, bukan hanya Syaer Sua yang melaksanakan prosesi Tiwah. Ada banyak keluarga lain yang bersiap melakukan ritual tersebut. Mereka berdiri di tanah lapang sambil mengelilingi kumpulan ternak yang telah diikat di tiang-tiang berpahat wajah manusia.

Sambil mengikuti tabuhan gong dan arahan seorang pemandu upacara, para peserta Tiwah menari bersama memutari hewan yang akan dikurbankan. Si pemandu acara lalu mengelompokkan para peserta berdasarkan garis keturunan masing-masing.

Setiap kelompok keluarga segera menyiapkan tombak dan mendekati hewan kurban. Sesuai arahan pemandu acara, mereka bergiliran menancapkan tombak ke hewan kurbannya. Dimulai dari ayam, babi, dan diakhiri dengan menombak kerbau. Selesai menombak, peserta Tiwah kembali menari mengitari hewan-hewan yang sudah tak bernyawa itu. ”Tiwah ini ritual umat Kaharingan untuk mengantar arwah ke surga,” kata Syaer Sua kepada Gatra, di Tumbang Manggu, awal Juni lalu.

Ritual kali ini, memang berbeda dari biasanya. Pelaksanaanya jauh lebih menarik dan ramai. lantaran diikuti oleh 45 keluarga, dengan 74 jenazah. Sebelumnya, pelaksanaan Tiwah hanya dilakukan oleh satu keluarga yang biayanya hingga Rp 200 juta.

Wakil Bupati Katingan Sakariyas yang menghadiri acara, mengakui, biasanya, prosesi Tiwah di Katingan hanya dilakukan dalam lingkup satu keluarga. Namun, besarnya biaya dalam pelaksanaan Tiwah, membuat ritual sakral ini jarang sekali terlaksana. ”Pemerintah melihat banyak keluarga yang belum mampu melaksanakan Tiwah,” katanya kepada Gatra.

Pemerintah daerah pun turun tangan, sampai mengajak sejumlah donatur untuk membantu umat Kaharingan dalam melaksanakan Tiwah. Apalagi, jumlah penganut Kaharingan di Katingan terbanyak kedua setelah Islam (Islam 60%, Hindu Kaharingan 35%, Kristen 5%). ”Di Katingan ada Islam, Kaharingan, Kristen, dan lainnya. Tapi, semua asal-usulnya dari pemeluk Kaharingan,” ucap Sakariyas.

Nah, untuk urusan Tiwah massal yang difasilitasi Pemda Katingan, direncanakan digelar dua kali dalam setahun. Program ini masih sebatas inisiatif dari pimpinan daerah, alias belum ada beleid khusus yang mengatur tentang pelaksanaan Tiwah setiap tahunnya. Namun, Sakariyas berharap siapa pun yang menjadi pimpinan daerah, pelaksanaan Tiwah massal tetap diprogramkan. Ke depan memang ada rencana untuk menyusun Perda mengenai pelaksanaan Tiwah ini.

Selain memfasilitasi ritual Tiwah, Pemda Katingan juga rutin melaksanakan festival Tandak atawa perlombaan membaca Panaturan, kitab agama Kaharingan, setiap dua tahun sekali. Kegiatannya mirip-mirp pelaksanaan musabaqoh tilawatil quran (MTQ) bagi umat muslim atau pesta paduan suara gerejawi (pesparawi) bagi penganut Kristen. ”Selain di tingkat kabupaten, Tandak juga dilaksanakan hingga tingkat provinsi,” kata Sakariyas.

Dalam urusan pemenuhan hak-hak yang lain, Sakariyas mengakui, tidak pernah ada pembedaan. Seperti bantuan pembangunan rumah-rumah ibadah, pemeluk Kaharingan mendapatkan sebagaimana pemeluk agama yang lain.

Bahkan, sejak 2016, pemerintah daerah sudah mulai memberikan bantuan dalam bentuk fisik, bukan pendanaan. ”Seperti, kita bangun rumah ibadah baik itu masjid, gereja atau balai baserah (rumah ibadah pemeluk Kaharingan). Setelah selesai baru kita serah terimakan kepada umat,” kata Sakariyas.
Kehadiran negara ataupun pemda tidak berhenti di situ saja, contohnya dari sisi pemenuhan hak didik siswa. Sekolah-sekolah di Katingan tidak memungut uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) sepeser pun terhadap siswa dari agama manapun. ”Bahkan, kita malah memberikan bantuan seragam sekolah bagi tiap siswa tanpa membeda-bedakan agamanya,” katanya.

Tapi, untuk ketersediaan guru-guru agama Hindu Kaharingan di sekolah, ia mengakui, memang belum memadai. Pemda Katingan berkilah, kekurangan tenaga pengajar agama Hindu Kaharingan itu bukan akibat diskriminasi pemerintah. Namun, karena jumlah sumber daya guru agama Hindu Kaharingan yang memang masih minim.

***

Perjalanan Kaharingan pun sebenarnya tidak selalu mulus. Meski pemerintah daerah banyak mengakomodasi pemeluk Kaharingan. Kenyataanya, masih ada permasalahan yang mengganjal. Misalnya soal pengisian kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP). Agama Kaharingan tidak terakomodasi untuk dicantumkan dalam KTP.

Sebab, di Indonesia hanya mengakui enam agama resmi yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan Kaharingan dikategorikan sebagai bagian dari ajaran Hindu. Jadi, selama ini para pemeluk aliran kepercayaan Kaharingan masih mengikuti agama Hindu.

Jika ditarik ke belakang, penggabungan Kaharingan dengan agama Hindu lantaran tidak adanya pengakuan negara terhadap agama Kaharingan. Di awal masa kemerdekaan, Kaharingan dianggap sebagai aliran kepercayaan atau bagian dari adat dan kebudayaan.

Karena itu, Kaharingan ditempatkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di bawah Departemen Agama. Hasilnya, secara tidak langsung, umat Kaharingan diklasifikasikan sebagai orang-orang yang belum beragama.

Bahkan, pada waktu itu, istilah Kaharingan sebagai nama agama juga belum populer. Agama yang dianut mayoritas masyarakat Dayak itu lebih dikenal dengan sebutan agama Helo (agama dulu) atau agama Tato Hiang (nenek moyang).

Baru pada 1950, dalam kongres pertama Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), istilah Kaharingan ditetapkan sebagai nama resmi agama orang Dayak. Melalui SKDI pula, gerakan untuk memperjuangkan pengakuan Kaharingan sebagai agama gencar dilakukan. Di antaranya dengan menyusun Panaturan sebagai kitab suci dan merancang balai baserah menjadi rumah ibadah.

Sayangnya, kala itu langkah tersebut terhalang oleh terbitnya surat edaran Menteri Dalam Negeri (Amir Machmud) Nomor 477/74054/1978. Isinya, warga negara yang beragama selain lima agama yang diakui harus mengisi kolom agama di KTP dengan tanda strip. ”Kalau orang Kaharingan meninggal, dianggap tak beragama dan tidak disediakan kuburan oleh negara,” kata Sekretaris Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) Pranata kepada Gatra.

Setelah adanya beleid tersebut, para pimpinan Kaharingan mulai berkomunikasi dengan pengurus Parisada Hindu Dharma di Bali. Dalam beberapa diskusi, disimpulkan, Kaharingan sama dengan Hindu. Salah satu alasannya adalah upacara sembahyang baik di Hindu maupun Kaharingan sama-sama menggunakan unsur air, api, dan bunga. ”Kerajaan Hindu pertama di Nusantara yakni Kutai juga ada di Kalimantan,” kata Pranata. Menurutnya, Kaharingan adalah manifestasi dari kerajaan Hindu Kutai.

Barulah pada Januari 1980, salah satu tokoh agama Kaharingan yakni Lewis KDR mengirim surat resmi yang berisi permohonan afiliasi dengan agama Hindu. Permohonan itu mendapatkan sambutan positif dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama Nomor H/37/Sk/1980, April 1980.

Surat itu berisi pengukuhan MB-AHK sebagai badan keagamaan di bawah Hindu yang bertugas mengelola kepentingan umat Kaharingan. ”Itulah awal munculnya agama Hindu Kaharingan,” kata Pranata.
Beruntung, integrasi dengan Hindu tidak membuat Kaharingan kehilangan identitas. Pranata menyebut, Parisada Hindu Dharma memberikan keleluasaan bagi umat Kaharingan untuk tetap menjalankan ritual dan upacara yang ada di Kaharingan. ”Makanya Tiwah masih eksis sampai sekarang,” ia mengaku.
Pasca-integrasi dengan Hindu, berbagai kemudahan diperoleh umat Kaharingan. Pranata mencontohkan, adanya kesempatan penganut Kaharingan untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Itu sangat mustahil sebelum masa integrasi. Sebab, salah satu syarat pendaftaran adalah mengisi kolom agama. ”Jika di luar lima agama yang diakui ketika itu, pasti enggak bakal lolos. Itu kan masih zaman orde baru,” katanya.

Menurut pengajar tetap di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Palangkaraya ini, kini, menjadi PNS bukan hal mustahil lagi bagi penganut Hindu Kaharingan. Bahkan, salah seorang penganut Hindu Kaharingan, Arton S. Dohong, menjadi Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. ”Integrasi ke Hindu adalah jalan terbaik,” kata Pranata.

Mengenai kolom agama dalam KTP yang hanya mengakomodasi Hindu, tidak dipermasalahkan Pranata. Menurut dia, KTP hanya simbol. Tercatat Hindu tapi penganut Kaharingan. ”Kalau pemerintah mengakomodasi Hindu Kaharingan, nanti Sunda Wiwitan, Parmalim, Kristen Bathel bakal nuntut semua,” katanya. ”Kecuali, Tiwah dan Baserah dilarang di Hindu. Umat Kaharingan pasti ribut,” tambahnya.
Namun, pemikiran Pranata tidak sepenuhnya diamini oleh pemeluk Kaharingan lainya. Salah satunya yang tergabung dalam Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) pimpinan Bambang. MAKI berpendapat, secara teologis, Kaharingan sangat berbeda dari Hindu. Misalnya, dalam penyebutan nama Tuhan.
Kaharingan bertuhankan Ranying Hatalla Langit, sementara Hindu menuhankan Sanghyang Widhi. ”Kitab kita Panaturan sementara Hindu itu Weda. Juga rumah Ibadah kita balai baserah berbeda dari Pura,” kata Bambang kepada Gatra di kantor MAKI, Jalan Pinguin VII, Palangkaraya.

Bambang berargumen, integrasi dengan Hindu dilakukan Kaharingan pada 1980 silam itu demi pengisian kolom agama di KTP umat Kaharingan. Saat ini, dia yakin, peluang Kaharingan untuk menjadi agama di luar Hindu telah terbuka. ”Dulu kita integrasi karena masih masa orde baru. Sekarang kan sudah zaman reformasi. Kami perjuangkan lagi,” katanya.

Aspirasi MAKI agar Kaharingan berdiri sendiri telah disampaikan ke beberapa lembaga di tingkat pusat. Tercatat, telah tiga kali yakni tahun 2013, 2014, dan 2015. MAKI memboyong sekitar 70 umat Kaharingan untuk berdialog dengan perwakilan Kementerian Agama, DPR RI, dan DPD di Jakarta. ”Tapi, memang belum ada perkembangan hingga sekarang,” kata Bambang.

Dia menceritakan, keinginan umat Kaharingan melepaskan diri dari Hindu terbentur Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam undang-undang ini, disebutkan, hanya enam agama yang diakui negara.

Untuk itu, Bambang mengatakan, ada dua cara yang bisa ditempuh demi pengkuan Kaharingan sebagai agama. Pertama, dengan pengajuan uji materi undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Cara kedua, menunggu peran Kementerian Agama yang tengah memproses RUU Perlindungan Umat Beragama. ”Kalau uji materi belum kepikiran, harapan kita masih pada proses di Kemenag,” tuturnya.

Meski begitu, Bambang tetap mengharap izin negara untuk adanya opsi bagi Kaharingan. Sayangnya, saat ini, dalam pembuatan KTP elektronik (E-KTP) peluang itu kembali sirna. ”Jadi kolom agama dikosongkan. Ini bahaya karena kami bisa dianggap tidak beragama. Sedangkan kalau tetap diisi dengan Hindu, kami jelas berbeda dari Hindu,” katanya.

Hal serupa diucapkan Syaer Sua. Dirinya sejak lama berkeberatan jika digolongkan sebagai penganut Hindu. ”Harusnya kolom agama di KTP saya ditulis Kaharingan atau setidaknya minimal Hindu Kaharingan,” katanya. ”Kami sudah sampaikan hal ini ke Kemenag. Mereka hanya mendengar, tapi tidak berbuat,” katanya.

sumber 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *